Monday, August 8, 2011

Menjinakkan Pembajakan Musik dengan Komputasi Awan



(Ist)

Jakarta - Pembajakan merupakan hantu terbesar bagi industri rekaman di seluruh dunia. Ini sudah berlangsung sejak dahulu kala. Untuk yang besar di tahun 70-80an mungkin masih mengalami betapa sampai pertengahan tahun 80an, bisa dipastikan semua kaset lagu barat yang diedarkan oleh perusahaan rekaman di negeri ini adalah hasil bajakan.

Untuk lagu lokal sendiri nasibnya tidak lebih baik, contohnya Bimbo yang hingga kini tidak bisa memiliki hak cipta atas sebagian besar lagu-lagunya karena bolak-balik kalah di persidangan melawan perusahaan rekaman.

Kehadiran era digital makin memperbuas peredaran musik bajakan ini. Dipelopori oleh Napster, yang salah seorang foundernya diperankan oleh Justin Timberlake di film Social Network, layanan saling bertukar dan download lagu ilegal mulai merajalela.

Meskipun akhirnya Napster ditutup oleh pengadilan Amerika, namun kehadirannya berhasil menghancurkan tata niaga industri rekaman yang sebetulnya merupakan sebuah kartel yang terdiri dari segelintir perusahaan rekaman raksasa.

Di Indonesia sendiri, lagu bajakan dalam format mp3 ataupun audio cd begitu mudah didapatkan dari mulai emperan pinggir jalan hingga di pusat-pusat perbelanjaan yang sejuk ber-AC.

Sebetulnya industri rekaman sendiri bukan tanpa perlawanan. Melihat potensi pasar musik digital yang begitu besar, dikenalkan metode DRM (Digital Right Management) yang akan memproteksi setiap track lagu yang diedarkan dalam bentuk digital, sehingga tidak bisa dikopi atau dipindahtangankan.

Hanya saja teknologi DRM ini ternyata menyulitkan bagi sebagian besar pembeli lagu, karena membatasi portabilitas dari lagu legal yang mereka miliki, karena hanya bisa diputar di perangkat tertentu yang memiliki pengenal terhadap sistem DRM itu.

Efeknya, orang menjadi malas membeli lagu ber DRM dan kembali berpaling ke lagu bajakan, dan itu menyebabkan sejumlah penyedia layanan download musik legal ber-DRM gulung tikar dalam waktu singkat, termasuk di negeri ini.

Karena itu juga, iTunes sebagai toko musik online terbesar di dunia, sejak tahun 2007 lalu telah memutuskan untuk tidak lagi menggunakan DRM dalam setiap track lagu yang mereka jual.

Dengan begitu massif nya peredaran musik digital ilegal ini, terus terang saya meragukan efektifitas rencana Menkominfo untuk menutup akses terhadap situs-situs penyedia musik ilegal. Karena seperti juga pornografi, akan selalu muncul situs-situs baru yang memberikan akses terhadap barang ilegal itu yang tidak mungkin seluruhnya diberantas, apalagi kalau lokasi mereka di luar negeri.

Memberantas pembajakan merupakan pekerjaan yang maha berat yang nyaris mustahil, mungkin kadarnya mirip-mirip dengan memerangi narkoba yang memiliki jejaring bisnis yang memiliki kekuatan luar biasa di belakangnya. Memerlukan pendekatan dari sejumlah sektor, yang itu hanya negara yang bisa melakukannya.

iCloud

Mungkin karena menyadari bahwa menghentikan peredaran musik bajakan adalah hal yang mustahil, Apple Inc sebagai pemilik iTunes memilih untuk menawarkan 'legalisir' track lagu yang tidak dibeli melalui iTunes, yang sangat besar merupakan lagu bajakan, melalui layanan iCloud mereka yang sudah diperkenalkan dalam Apple World Developer Congress bulan Juni lalu dan akan dirilis di musim gugur ini.

Sebetulnya layanan utama dari iCloud adalah layanan penyimpanan library music yang terorganisir melalui aplikasi iTunes yang tersimpan di jutaan Desktop PC/Notebook pengguna iTunes, ke sarana penyimpanan di cloud-nya Apple. Dengan demikian isi library lagu-lagu yang terdapat di iTunes versi Desktop PC nya, melalui iCloud otomatis tersinkronisasi dengan libary iTunes yang mereka miliki di device lain seperti iPod, iPhone atau iPad.

Namun berbeda dengan layanan cloud music storage yang ditawarkan oleh Amazon ataupun Google, dalam proses sinkronisasi ke iCloud tadi, sekaligus akan dilakukan pendeteksian apakah lagu yang terdapat di dalam library iTunes kita adalah lagu yang dibeli secara resmi di iTunes store, atau berasal dari sumber lain, seperti hasil rip dari CD atau hasil bajakan.

Nah, untuk lagu yang tidak dibeli dari iTunes, tapi ada padanannya di dalam katalog iTunes, Apple menawarkan untuk 'menukar' lagu hasil rip/bajakan tersebut dengan versi resmi dengan kualitas yang lebih baik yang tersedia di iTunes, hanya dengan membayar langganan USD 24,99/tahun.

Proses inilah yang saya sebut dengan proses 'legalisir' tadi. Tampaknya pendekatan Apple ini cukup dapat diterima oleh Industri rekaman, terbukti dengan seluruh label besar bersedia bekerjasama dengan Apple untuk model bisnis iCloud ini.

Mungkin mereka berpikir daripada tidak dapet duit sama sekali dari lagu bajakan, mendingan dapet meskipun sedikit. Tapi tentu saja potensi nya sangat besar mengingat pemilik aplikasi iTunes versi desktop jumlahnya puluhan juta. Tentu saja dengan harapan, setelah koleksi lagu bajakannya 'dilegalisir', Kedepannya pemilik lagu akan membeli secara resmi via iTunes.

Menurut saya apa yang dilakukan oleh Steve Jobs, dengan iCloud nya ini adalah suatu yang brilian, seperti juga hal-hal lain yang dia lakukan. Dan kalau berhasil, layanan berbasis komputasi awan ini mungkin ini bisa menjadi penyelamat bagi industri musik dari kejahatan pembajakan. Namun sayangnya, layanan membeli musik di iTunes sampai saat ini belum tersedia untuk konsumen Indonesia.


Penulis, Mochamad James Falahuddin merupakan praktisi telematika sekaligus pelaku dan pemerhati industri musik digital.

0 comments:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Affiliate Network Reviews