Istilah logam tanah jarang kembali mengemuka akhir-akhir ini, setelah
tiga kekuatan utama ekonomi dunia, yakni AS, Jepang, dan Uni Eropa
bersama-sama menggugat China ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Mereka menuduh keputusan China membatasi ekspor logam tanah jarangnya
bertujuan memproteksi industri teknologi dalam negerinya, dan merupakan
bentuk persaingan usaha tidak sehat.
Bukan kali ini saja China
menggegerkan dunia dengan LTJ. Dalam salah satu krisis diplomatik
terburuk antara China dan Jepang setelah Perang Dunia II tahun 2010,
China mengeluarkan kartu truf yang mengagetkan sekaligus menyadarkan
dunia.
Negara kekuatan ekonomi kedua terbesar di dunia itu
ternyata memegang kunci masa depan dunia, yakni cadangan mineral langka
yang dinamakan rare earths atau logam tanah jarang (LTJ).
China
menguasai 97 persen pasar LTJ, mineral yang dibutuhkan untuk membuat
berbagai benda berteknologi tinggi di dunia. Jepang, yang dikenal
sebagai negara produsen benda-benda canggih, bergantung hampir 100
persen pada pasokan LTJ dari China.
Pada gilirannya, Amerika
Serikat, yang mengandalkan pasokan komponen-komponen teknologi dari
Jepang, juga menjadi bergantung pada China. Padahal, di antara
benda-benda yang membutuhkan mineral itu adalah berbagai peralatan vital
militer, mulai dari sonar kapal perang, alat pembidik meriam tank,
hingga perangkat pelacak sasaran pada peluru kendali.
Menurut artikel di majalah The Economist edisi
17 September 2010, keberhasilan China menguasai pasar LTJ dunia adalah
buah dari kebijakan visioner mantan pemimpin negara komunis itu, Deng
Xiaoping. Lebih dari 30 tahun silam, pada dekade 1960-an, Deng
mengatakan bahwa jika negara-negara Timur Tengah memiliki minyak bumi,
China mempunyai LTJ.
Mineral langka itu diramalkan akan menjadi
"minyak bumi" abad ke-21 karena arti pentingnya bagi dunia industri.
Ramalan yang mulai terbukti benar.
Tahun 2009, permintaan pasar
LTJ dunia mencapai 134.000 ton, sementara kapasitas produksinya baru
124.000 ton. Tahun 2012 ini, kebutuhan dunia diperkirakan akan mencapai
180.000 ton.
China sendiri, yang permintaan industri dalam
negerinya juga makin tinggi, sudah mulai mengurangi kuota ekspor
LTJ-nya. Tahun lalu China sudah memotong jatah ekspor dari 50.000 ton
menjadi hanya 30.000 ton. Juli lalu, pemerintah China memangkas lagi
kuota ekspornya, sebuah langkah yang sempat diprotes Jepang.
Mencari alternatif
Tidak
seimbangnya pasokan dan permintaan, serta sulitnya proses pemisahan LTJ
dari mineral induknya yang mengandung unsur radioaktif, seperti uranium
dan thorium, membuat harga mineral ini sangat mahal. Di laman
perusahaan pemasok LTJ asal Australia, Arafura Resources (www.arafuraresources.com.au), harga europium oksida—salah satu oksida LTJ, bulan ini mencapai 3.410 dollar AS (Rp 31,3 juta) per kilogram.
Beberapa
negara dan perusahaan multi nasional yang bergantung pada pasokan LTJ
ini sekarang beramai-ramai mencari sumber alternatif untuk mencegah
ketergantungan pada China. Perdana Menteri Jepang waktu itu,
Naoto Kan, dan PM Mongolia Sukhbaatar Batbold dua tahun lalu sepakat
untuk mengembangkan kerjasama penambangan LTJ di Mongolia.
Toyota
Motor Corp, yang membutuhkan LTJ untuk membuat mobil hibrida Toyota
Prius, bahkan memutuskan mencari sendiri sumber-sumber LTJ demi menjaga
keberlangsungan pasokannya.
Melalui anak perusahaannya, Toyota
Tsusho Corp, Toyota menjajagi kerja sama dengan Vietnam, India, dan
Indonesia untuk menambang dan memproses sendiri LTJ-nya. "Ketergantungan
pada satu negara banyak risikonya," tutur juru bicara Toyota Motor Corp
Morimasa Konishi kepada Associated Press dua tahun lalu.
Toshiba dan Sumitomo juga menjalin kerjasama joint venture untuk
membuka tambang LTJ di Kazakhstan pada 2009. Perusahaan Jepang lainnya
menjalin kerjasama dengan Lynas Corp dari Australia untuk mendapatkan
pasokan LTJ dari tambang Mount Weld, Australia.
Korea Selatan,
yang memiliki perusahaan-perusahaan teknologi tinggi, seperti Samsung
dan LG, juga mulai memikirkan kesinambungan pasokan LTJ-nya. Pemerintah
Korsel berencana menganggarkan dana sebesar 17 miliar won (Rp135,4
miliar) untuk mengamankan cadangan 1.200 metrik ton LTJ hingga tahun
2016.
Sementara di AS, Kongres mengadakan sidang khusus untuk
memperpanjang lisensi pertambangan LTJ di Mount Pass, California, agar
tambang tersebut bisa segera beroperasi untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri AS.
Meski demikian, proses pengaktifan kembali tambang dan
proses pemurnian LTJ ini bukan hal yang mudah. Sehingga untuk sementara,
dunia masih harus bergantung pada pasokan LTJ dari China.
Menumpuk di gudang
Dalam wawancara dengan Kompas
waktu itu, Kepala Badan Geologi R Sukhyar mengatakan, Indonesia
sebenarnya memiliki stok mineral mengandung LTJ yang sudah ditambang,
yakni di kawasan pertambangan timah di Kepulauan Bangka-Belitung
(Babel).
Selama ini, mineral-mineral itu menjadi produk sampingan (slag)
pengolahan bijih timah oleh tambang-tambang timah di kepulauan
tersebut, termasuk oleh PT Timah. "Timah berasal dari batuan induk
granit. Jadi setiap ada tambang timah, pasti mineral-mineral mengandung
LTJ ini juga ada," ungkap Sukhyar.
Dalam sebuah audit Badan
Pemeriksa Keuangan terhadap PT Timah dan PT Koba Tin, dua perusahaan
tambang yang beroperasi di Babel, diketahui cadangan mineral mengandung
LTJ ini sangat besar. PT Timah misalnya, menurut data stok 2006 memiliki
408.877 ton monazite (mengandung 50-78 persen oksida tanah jarang atau rare earths oxides/REO), 57.488 ton xenotime (mengandung 54-65 persen REO), dan 309.882 zircon (mengandung ittrium dan cerium).
Sementara
PT Koba Tin hingga September 2007 memiliki stok monazite sebesar
174.533 ton. Data Badan Geologi menunjukkan, kawasan Kepulauan Babel
yang sudah dieksplorasi menunjukkan potensi sumber daya monazite sebesar
10.526,8 ton.
Mineral sebanyak itu selama ini hanya disimpan di
gudang perusahaan-perusahaan tersebut. Karena sifatnya yang mengandung
unsur radioaktif uranium dan thorium, stok mineral tersebut tidak
diproses lebih lanjut, karena harus melibatkan institusi pemantau zat
radioaktif, seperti Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) dan IAEA.
Selain
itu, karena pemerintah belum menetapkan LTJ sebagai sasaran eksplorasi,
maka seluruh stok mineral mengandung LTJ ini dibiarkan begitu saja.
Sukhyar mengatakan ada risiko stok mineral potensial tersebut
diselundupkan ke luar oleh orang-orang yang mengerti nilai sesungguhnya
mineral ini.
Penyelundupan mineral produk sampingan tambang ini
bukan tidak mungkin. BPK mencatat pernah ada usaha penyelundupan mineral
ilmenite, yang mengandung uranium dan thorium, dari Kabupaten Bangka
Tengah pada 24 November 2007.
Lebih jauh dari itu, karena
pemerintah memang belum melihat ke potensi LTJ ini, kegiatan eksplorasi
lanjutan untuk mengetahui berapa sesungguhnya cadangan logam tersebut
yang dimiliki Indonesia juga belum pernah dilakukan. Apa lagi membahas
teknologi pemurnian LTJ itu pada skala industri. "Sampai sekarang belum
ada survei keekonomian penambangan LTJ ini," tutur Sukhyar.
Di laman resminya, (http://www.toyota-tsusho.com/english/csr/business/case01.html), Toyota Tsusho Corp menyatakan akan membangun pabrik pemurnian LTJ di Pulau Bangka, dengan mengolah slag
sisa pengolahan bijih timah. Perusahaan tersebut mengharapkan bisa
mengekstrak neodimium dan disprosium, yang sangat penting bagi pembuatan
Toyota Prius.
Meski susah dan membutuhkan penguasaan teknologi
khusus, pembangunan pabrik proses pengolahan untuk skala industri di
Indonesia bukan hal yang tak mungkin. Triharyo Soesilo, mantan Direktur
Utama PT Rekayasa Industri—BUMN yang bergerak di bidang rancang bangun
dan rekayasa fasilitas industri, mengatakan, pada prinsipnya pasti ada
perusahaan-perusahaan di dunia yang memegang lisensi pabrik pemisahan
LTJ ini.
"Jika lisensi itu kita dapatkan, maka kita pasti bisa
membangun pabriknya," tutur Triharyo, alumnus Teknik Kimia ITB, yang
kini menjadi salah satu anggota Dewan Komisaris Pertamina itu.
Sekarang,
tinggal kembali pada niat dan visi para pemimpin pemerintahan
Indonesia. Apakah akan ikut serta dalam percaturan masa depan dunia,
atau mau berpuas diri di dalam "zona nyaman" sebagai pengikut dan
konsumen.
Jika China bisa memiliki visi 30 tahun ke depan, mengapa kita tidak?
Pilih Babe apa UC News ? Ini Dia Jawabannya ...
-
Sebelumnya saya sudah pernah membahas bagaimana cara bisa mendapatkan
pundi-pundi pemasukan yang bisa anda dapatkan dari internet melalui menulis.
Di era...
9 years ago
0 comments:
Post a Comment